Translate

Senin, 22 September 2008

WorkShop Pembelajaran Seni Drama di SMP

A. Judul : Work shop pengembangan seni DRAMA dalam pembelajaran sastra di SMP Se-Wilayah Kabupaten Bojonegoro

B. Analisis Situasi
Perkembangan drama di Indonesia akhir-akhir ini begitu pesat. Ha1 ini terlihat dari banyaknya pertunjukan drama di televisi, drama radio, drama kaset, dan juga drama pentas. Organisasi remaja, baik di sekolah, universitas, karang taruna, maupun gelanggang remaja mempunyai seksi teater. Dalam acara-acara dan kegiatan kesenian belum afdol kiranya tanpa pertunjukan drama. Demam drama sudah begitu meluas, sehingga jika televisi menyajikan drama, masyarakat pasti antusias menyaksikannya.


Di sekolah-sekolah, naskah drama paling tidak diminati. Dalam penelitian Dr. Yus Rusyana disimpulkan bahwa minat siswa dalam membaca karya sastra yang terbanyak adalah prosa, menyusul puisi, baru kemudian drama. Perbandingannya adalah: 6:3:1 (1979). Hal ini disebabkan karena menghayati naskah drama yang berupa dialog itu cukup sulit dan harus tekun. Dengan pementasan atau pembacaan oleh orang yang terlatih, hambatan tersebut kiranya dapat diatasi. Penghayatan naskah drama lebih sulit daripada penghayatan naskah prosa dan puisi.

C. Tinjauan Pustaka
1. Pembelajaran Sastra.
Melalui pembelajaran sastra mencerdaskan siswa, memperkaya pengalaman batin, dan memanusiawikan manusia. Pembelajaran sastra pada umumnya dan pembelajaran drama pada khususnya mengemban misi afektif, yaitu memperkaya pengalaman siswa dan menjadikannya (lebih) tanggap terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya. Tujuan akhirnya adalah menanam, menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan kepekaan terhadap masalah-masalah manusaiwi, pengenalan dan rasa hormatnya terhadap tata nilai—baik dalam konteks individual maupun sosial (Boen S. Oemarjati, dalam Sumardi, 1992: 196).
Secara khusus pembelajaran sastra bertujuan mengembangkan kepekaan siswa terhadap nilai-nilai indrawi, nilai akali, nilai efektif, nilai sosial, ataupun gabungan keseluruhannya. Dalam konteks inilah pembelajaran sastra perlu dilaksanakan. Guru dituntut untuk dapat menjembatani pemerolehan pemahaman siswa melalui unsur-unsur instrinsik maupun ekstrinsik dalam karya sastra. Hal ini disebabkan bahwa sastra pada hakikatnya menyajikan suatu ‘kemungkinan’ dalam menanggapi suatu permasalahan. ‘Kenyataan’ yang disajikan karya sastra bukanlah untuk diperiksa kebenarannya terhadap alam nyata, melainkan bersifat menghimbau penikmat sastra untuk ‘menyelam’—dan bila perlu ‘menggali’ untuk menemukan sesuatu berupa nilai-nilai.

2. Drama dan dunia anak – memesis – dulce et utile
Masa kanak-kanak merupakan masa perkembangan yang memiliki banyak sisi. Dari sisi kekanakannya, anak-anak akan membutuhkan pembelajaran etika, tentang baik dan buruk bagi mereka. Guru dan orang tua dituntut untuk dapat menetapkan ukuran-ukuran yang memadai, dan menggali hal-hal khusus tentang budi pekerti, serta memperkayanya agar selalu lebih menarik dan menyenangkan bagi anak (Abdul Majid, 2002: vii)
Berkaitan dengan kegiatan drama, drama anak-anak merupakan kegiatan yang dipersiapkan untuk pengembangan daya cipta (kreativitas) dan mendorong ekspresi pribadi. Di tingkat-tingkat selanjutnya kegiatan drama di sekolah dipergunakan untuk mempersiapkan untuk membantu anak menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan sosial dalam kehidupannya (Taylor, 1988: 2).
Drama anak hendaknya mampu mewadahi dunia anak-anak. Selain sebagai tempat untuk mengekpresikan diri, juga tempat bermain dan memperoleh kesenangan dalam kelompok. Drama anak-anak harus dibangun dengan pemahaman dulce et utile, sweet and useful. Hal tersebut disebabkan eksistensi drama adalah menampilkan cerminan kejadian dalam kehidupan (mimesis). Oleh sebab itu drama anak-anak juga harus dapat dipakai mewadahi kehidupan anak melalui cerita-cerita yang dipentaskannya.

3. Pembelajaran Drama.
Pembelajaran drama di sekolah dapat ditafsirkan dua macam, yaitu: pembelajaran teori drama, atau pembelajaran apresiasi drama. Masing­-masing juga terdiri atas dua jenis, yaitu: pembelajaran teori tentang teks naskah) drama, dan pembelajaran tentang teori pementasan drama. Pembelajaran apresiasi dibahas naskah drama dan apresiasi pementasan irama. Dalam apresiasi yang itu naskah maupun pementasan. Tampaknya kedua hal ini penting, hanya saja tekanannya harus pada aspek apresiasi. Jika teori-teori termasuk dalam kawasan kognitif, maka apresiasi menitikberatkan kawasan afektif (sesuai dengan taksonomi Bloom).
Untuk menguraikan pembelajaran apresiasi drama, maka kita berhadapan dengan berbagai disiplin ilmu, yaitu sebagai berikut.
1. Sastra. Ilmu Jiwa.
2. Metode Pembelajaran Sastra.
3. Tujuan dan Evaluasi.
4. Aspek Kurikulum.
Materi pembelajaran juga harus disesuaikan dengan jenjang pendidikan sekolah. Perihal materi ini ada berbagai pendapat materi :eori drama dan materi apresiasi drama. Materi teori drama berupa buku pegangan teoretis tentang apa dan bagaimana serta untuk apanya drama. Semakin tinggi jenjang pendidikan tentulah semakin canggih dan mendalam (detail). Materi apresiasi berupa naskah drama. Pemilihan naskah disesuaikan dengan jenjang pendidikan (unsur­ perkembangan psikologis).
Saat ini disadari, bahwa drama semakin populer di sekolah. Guru tentu saja harus mampu mengajarkan drama, baik itu dalam hal teori maupun dalam hal apresiasi, baik itu dalam hal naskah ataupun dalam hal pementasan. Lewat dramatisasi, dimungkinkan suatu pengetahuan, dapat menjadi sikap, dan kemudian menjadi tingkah laku (penghayatan dan pengamalan).
Di pihak lain, murid-murid yang sering berpentas merasa sudah puas dan berlaku sebagai "aktor". Padahal ada dimensi lain yang harus mereka kuasai lebih dari berpentas, yaitu pengetahuan yang mempertinggi tingkat apresiasi mereka. Merasa sudah tahu, padahal belum tahu, merupakan penyakit para pemula. Sebaliknya mereka yang banyak berteori (seperti guru sastra) merasa bahwa pementasan dan naskah drama tidak penting untuk dibaca (dipelajari). Di dalam khasanah drama Indonesia, banyak diterbitkan naskah-naskah drama yang sudah dinilai kualistasnya, tetapi tidak banyak dibaca oleh mereka yang bernama cendekiawan, bahkan juga mereka yang dari jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Menurut penelitian Dr. Yus Rusyana, perbandingan kegiatan mengapresiasi prosa, puisi, dan drama berbanding: 6 : 3 : 1. (Jakarta, 1979).
Selama ini guru sastra masih terpaku pada penilaian dan tujuan mengajar dalam aspek kognitif. Padahal drama sebagai karya seni, mestinya juga mencapai aspek apresiasi. Tujuan pembelajaran ini kiranya harus segera diatasi. Apalagi jika terdapat tuntutan bahwa aspek apresiasi harus lebih dititikberatkan dalam pembelajaran sastra (termasuk drama) daripada aspek pengetahuan (teori), dan strategi juga harus diperbaiki.
Harus diakui, bahwa naskah-naskah drama memang sulit didapat. Di depan sudah disebutkan, bahwa jalan terbaik untuk mendapatkan naskah adalah lewat bank naskah pada setiap teater ternama. Akan tetapi yang terbaik lagi jika guru dan murid mencoba menciptakan naskah-naskah sederhana. Sebagai contoh menaskahkan suatu role­playing atau cerita-cerita daerah setempat.
Suasana kondusif memang perlu diciptakan oleh sekolah. Suasana kondusif di sini berarti kondusif dalam mengembangkan kreativitas siswa. Sekolah sebagai institusi menjadi obor dan penggerak bagi kreativitas siswa. Kegiatan drama dan apresiasi seni yang lain diberi wadah sekolah, diberi alokasi dana, diberi tempat berkiprah, dan aktivitasnya mendapat imbalan yang sesuai.
Moody menyatakan, bahwa drama merupakan bentuk kebudayaan yang melekat erat pada kebudayaan dan kebiasaan manusia di seluruh dunia. Drama dapat mengantarkan murid-murid ke kedewasaannya, dengan melatih siswa mengalami berbagai macam pengalaman hidup manusia dalam naskah yang dibawakan. Dengan mementaskan drama, siswa dapat mengerti manusia lain dengan lebih nyata.
Guru drama hendaknya mampu memperkenalkan drama kepada siwa, kemudian membimbing apresiasi drama, membuat mereka menyenangi, menggemari, dan menjadikan drama sebagai salah satu bagian yang menyenangkan dalam kehidupan mereka. Untuk dapat menghargai nilai-nilai luhur dalam kehidupan, maka drama-drama yang abadi, seperti: Oedipus Sang Raja, Hamlet, Machbeth, Othelo, Julius Caesar, dan sebagainya, sebaiknya diperkenalkan kepada siswa. Bukan lewat penceritaan, tetapi agar mereka membaca sendiri atau menonton pementasannya.
Saat ini banyak rekaman-rekaman sandiwara yang cukup bagus mutunya. Rekaman itu dapat dijadikan bahan diskusi kelas. Biasanya rekaman drama merupakan hasil kerja tenaga profesional, baik dalam hal mengolah dialog (meliputi perwatakannya), musik, maupun sound effect. Cerita yang dipilih juga sudah mulai seleksi. Jadi, drama kaset itu dapat dijadikan bahan diskusi kelas yang cukup baik. Sebelum mementaskan drama-drama besar, sebaiknya dipentaskan drama-drama sederhana yang tidak membutuhkan latihan watak yang cukup sulit. Oleh sebab itu, sosiodrama, role-playing akan banyak disinggung di sini. Pendramaan cerita-cerita rakyat yang sudah terkenal. baik secara tradisional maupun diberi bentuk baru, juga dapat dikatakan sebagai latihan pendahuluan pementasan drama.
Beberapa pertanyaan yang muncul, tugas guru bahasa Indonesia menjadi semakin banyak, tetapi harus disadari, bahwa pelajaran drama dapat menjadi suatu gabungan antara pelajaran sastra, dan pelajaran ketrampilan berbahasa (menyimak, membaca, wicara, dan menulis). Sebagai contoh. jika naskah dibuat sendiri atau siswa ditugasi membuat resensi terhadap pementasan atau pembacaan, maka di dalam pelajaran ini terkandung pula pelajaran ketrampilan menulis (latihan pemahaman dan penggunaan bahasa).

4. Pembelajaran Drama di Sekolah
Pembelajaran drama di sekolah dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan, yaitu: (1) pembelajaran teks drama yang termasuk sastra, dan (2) pementasan drama yang termasuk bidang teater. Dalam pembelajaran teks drama ini, dianjurkan pula untuk mementaskan meskipun satu catur wulan mungkin hanya dua atau tiga kali pementasan sederhana.
Dalam pementasan drama dibahas pementasan drama di kelas (untuk demonstrasi) dan pementasan untuk sekolah yang ditonton oleh seluruh siswa di sekolah itu. Pementasan jenis pertama dilakukan oleh guru bahasa Indonesia (bahasa Inggris), sedangkan pementasan jenis kedua biasanya dilakukan oleh teater sekolah atau atas kerjasama guru Bahasa Indonesia, teater sekolah, dan OSIS.
Kesulitan dalam pembelajaran drama di kelas adalah dalam hal memperoleh naskah-naskah pendek dengan lama pentas (durasi) 30 menit. Kebanyakan teks drama dari karya para dramawan berdurasi minimal 90 menit. Ada yang durasinya 360 menit. Drama-drama yang ditulis para drawawan cocok untuk pentas sekolah (bukan kelas). Untuk pementasan kelas, murid-murid perlu menyusun teks sendiri. Dapat juga guru yang menyusun kemudian didiskusikan untuk diperbaiki bersama disesuaikan dengan kondisi dan situasi kelas atau sekolah.
Kesulitan-kesulitan dalam pembinaan teater di sekolah antara lain adalah:
a. Kekurangan pelatih atau sutradara yang dedikatif. Dikatakan dedikatif karena dituntut kerja keras sementara honornya relatif kecil.
b. Kekurangan naskah drama yang cukup pendek dan temanya relevan dengan tuntutan sekolah.
c. Kekurangan peserta yang dedikatif dalam berlatih.
d. Kekurangan fasilitas pentas.
e. Kekurangan biaya latihan dan biaya pementasan.
f Kekurangan perhatian dan bantuan pimpinan sekolah demi koninyuitas pemetnasan dan perkembangan drama di sekolah.
g. Kurangnya petugas teknis dan artistik.
Naskah-naskah drama besar yang disusun dramawan biasanya sulit dihayati oleh lingkungan sekolah. Sebagai contoh: "Mega-mega" (Arifin C. Noer), "Kapai-Kapai" (Arifin C. Noer), "Dag Dig Dug" (Putu Widjaya), "Joko Tarub" (Akhudiat), "Obrok Owok-owok", "Ebrek Ewek-ewek" (Danarto), "Opera Kecoa" (Riantiarno), "Taman" (Iwan Simatupang) dan banyak naskah drama lain yang banyak dipentaskan oleh para dramawan merupakan drama-drama yang sulit disuguhkan di sekolah.
Lakon-lakon karya Williams Shakespeare (seperti "Hamlet", "Macbeth", "Saudagar Venesia", dan "Impian di Tengah Musim") terlalu panjang dan disusun dalam bentuk puisi. Perlu ada penyederhanaan atau penyaduran tanpa mengurangi kualitas dramatik lakon-lakon tersebut. Demikiarr juga lakon-lakon tragedi karya Sophodes ("Oedipus Sang Raja", "Oedipus di Kolonus", "Antigone"), karya Samuel Beckettt (Menunggu Godot) dan sebagainya. Murid­murid perlu mengapresiasi dan menghayati lakon-lakon besar dunia (setelah disederhanakan dan lebih singkat).
Lakon-lakon dari cerita rakyat yang bersifat kedaerahan sebetulnya merupakan kekayaan yang perlu digali. Melalui pengkajian cerita rakyat secara seksama, kiranya pembinaan group drama tidak akan kekrungan lakon. Dialog disusun sedemikian sederhana dan komunikatif, dan panjangnya disesuaikan dengan kebutuhan pementasan di sekolah. Cerita-cerita kedaerahan yang cukup kuat, misalnya: Sri Tanjung, Panji Semirang, Ken Arok, Ande-ande Lumut, Bansacara-Ragapadmi, Ait-langga, Anusapati, Damarwulan atau Minak Jinggo, Warok Suromenggolo (Jawa Timur); Roro Mendut, Ki AgengMangir, Aryo Penangsan, Joko Tingkir, Mahesa Jenar (Nogo Sosro Sabuk Inten), Raden Mas Said, Roro Jonggrang (Jawa Tengah), LutungKasarung (Putri Purbosari), MundingLaya, Kamandaka, Sang Kuriang, Si Kabayan, Prabu Siliwangi (Jawa Barat), Calon Arang (Bali), Malin Kundang, Lebai Malang, Pan Pandir (Minangkabau), dan sebagainya.
Lakon-lakon dari cerita Seribu Sam Malam seperti Sinbad, Ali Baba, Putri Jauhar Manik, Aladirr dengar7 Lampu Wasiat, dan Abu Nawas dapat ditata menjadi cerita drama yang menarik untuk dipentaskan.
Beberapa laitihan yang dapat dilaksanakan pada pembelajaran drama di sekolah antara lain:

a. Latihan Membaca Drama
Teks drama adalah wacana dialog yang berbeda-beda dengan teks prosa. Wacana dialog lebih sulit dibaca (dipahami) karena dialog tokoh­tokoh yang satu dilengkapi oleh tokoh yang lain. Wacana dialog seorang tokoh belum tentu men.ipakan kalimat utuh yang memiliki maksud lengkap. Demikian juga jawaban tokoh lainnya bukan merupakan kalimat lengkap.

b. Latihan Mendengarkan Drama
Teks drama dapat juga dibaca di depan kelas oleh beberapa murid (sesuai dengan kebutuhan peran yang ada). Murid-murid lain mendengarkan, mencatat tema dan isinya, dan berusaha untuk dapat menanggapi hasil kegiatan mendengarkan itu.
Guru dapat juga memberikan tugas untuk mendengarkan drama radio atau drama televisi (dari kaset, video, atau televisi). Tema, isi, dan cerita harus dipahami oleh siswa sebagai bahan diskusi kelas atau membuat resensi.
Guru dapat juga memberi tugas kepada murid untuk menonton pertunjukan drama. Mereka diberi tugas untuk mencatat isi, pembicaraan, tema, dan cerita drama tersebut. Hasil aktivitas ini dapat digunakan untuk resensi (menulis).

c. Latihan Menulis
Latihan menulis yang berkaitan dengan pembelajaran drama dapat berupa menulis teks drama (sederhana), menulis sinopsis drama, menulis saduran drama, dan menulis resensi (teks drama ataupun pementasan drama). Tugas menulis itu dapat individual dan dapat juga kelompok. Hasilnya dapat dilaporkan kepada guru secara tertulis, dapat juga dibaca di depan kelas.

d. Latihan Wicara
Untuk latihan wicara dapat dilaksanakan dengan menceritakan isi singkat drama di depan kelas dan pendramaan teks drama. Dengan pendramaan itu, dapat dibina kelancaran berbicara. Latihan wicara ini dapat juga dilakukan dengan pengkasetan dialog seperti dalam drama radio. Dalam hal ini, penjiwaan terhadap peran yang dibawakan perlu dilatih secara baik. Karena itu, kelancaran berwicara dapat dilatih melalui pentas atau pengkasetan drama.
Untuk keperluan latihan pemahaman dan penggunaan bahasa, pementasan drama lebih lengkap. Dalam pentas drama, siswa terlibat aspek kognitif, afektif, dan psikomotoriknya. Oleh karena itu, prinsip prinsip dramatisasi (dalam arti drama pentas) banyak digunakan untuk diaplikasikan dalam metode mengajar yang sifatnya baru (inovatif).

D. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian-uraian sebagaimana dikemukakan pada pendahuluan, dapat dirumuskan masalah-masalah sebagai berikut:
a. Kendala-kendala apa sajakah yang terjadi pada pembelajaran seni drama di SMP di Wilayah Diknas Kabupaten Bojonegoro?
b. Bagaimanakah pembelajaran seni drama dilaksanakan di SMP di Wilayah Diknas Kabupaten Bojonegoro?
c. Pendekatan, Metoda, dan Teknik apa sajakah yang dipakai sebagai pembentukan model pembelajaran drama di SMP di Wilayah Diknas Kabupaten Bojonegoro?
d. Bagaimanakah merancang pengembangan model yang sesuai dengan karakteristik dunia anak di tingkat SMP?

E. Tujuan KEGIATAN
a. Mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran seni drama di SMP Wilayah Diknas Kabupaten Bojonegoro.
b. Mengidentifikasi kendala-kendala dalam pembelajaran seni drama di SMP di Wilayah Diknas Kabupaten Bojonegoro.
c. Merancang Pendekatan, Metoda, dan Teknik yang dapat dipakai sebagai pembentukan model pembelajaran drama di SMP di Wilayah Diknas Kabupaten Bojonegoro.
d. Bagaimanakah merancang pengembangan model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik dunia anak di tingkat SMP.

F. Kontribusi KEGIATAN
a. Bagi Pelaksana PPM
Hasil pelatihan guru-guru SMP ini nantinya diharapkan dapat memperluas cakrawala berpikir, sehingga akan mendorong kreativitas yang baru dalam rangka membantu pendidik (guru SMP) dalam mendesain pembelajaran seni drama di SMP secara memadai. Hasil pelatihan ini nantinya diharapkan juga dapat dipakai pijakan untuk mendesain model-model pembelajaran yang lain, sehingga akan memperkaya khasanah pembelajaran seni drama di SMP.
b. Bagi Guru SMP
Pelatihan ini merupakan langkah untuk memperbaiki pola dan teknik pembelajaran tradisional yang lazim dilaksanakan di SMP. Hasil pelatihan tentang pembelajaran drama di SMP ini diharapkan dapat memberikan penyegaran terhadap guru SMP tentang bagaimana seyogyanya pembelajaran drama dilaksanakan.
c. Bagi Instansi terkait
Pelatihan ini merupakan masukan yang berharga guna dipakai sebagai pertimbangan dalam menyusun kebijakan-kebijakan di SMP, khususnya yang bersangkut paut dengan pengembangan profesionalisasi guru SD di Wilayah Diknas Kabupaten Bojonegoro.


a. Daftar Pustaka

Asmara, Adhy, Dr. 1983. Apresiasi Drama. Yogyakarta: Nur Cahaya.
Adjib Hamzah, A. 1985. Pengantar Bermain Drama. Bandung: CV. Rosda.
Abdul Majid, Abdul Aziz, 2002. Mendidik Dengan Cerita (Editor: Susan Sandiasih). Bandung: Rosda.
Austin Waren, & Rene Wellek. 1989. Teori Kesusastraan. (Editor Melani Budianta) Jakarta: Gramedia.
Boleslavsky, Richard. 1979. Enam Pelajaran Pertama Bagi Calon Aktor. (Terjemahan Adhy Asmara, Dr.). Yogyakarta: Nur Cahaya.
Bloom, Benjamin S. 1970. Affective Domain. Vol. II, New York.
__________1977. Taxonomy of Educational Objectives. (Vol. I Cognitive Domain). New York: Longman.
Brahim. 1966. Drama dan Pendidikan. Jakarta: Gunung Agung.
Boulton, Marjorie. 1959. The Anatomy of Drama. London: Routledge & Keagan Paul.
Esten, Mursal. 1992. Tradisi dan Modernitas Dalam Sandiwara. Jakarta: Inter Masa.
Fernandez, H.J.X. 1983. Affective Domain Assessment in Perspective. Jakarta: Balitbang Depdikbud.
Gagne, Robert M., and Leslie Briggs. 1978. Design Intructional. New Yersey: Educational Technology Publishers.
Gani, Rizanur. 1981. Pengajaran Apresiasi Puisi. Jakarta: P3G Depdikbud.
Harymawan, R.M.A. 1988. Dramaturgi. Bandung: Rosda Karya.
Hoa Kim Nio. 1981. Pengajaran Apresiasi Drama. Jakarta: P3G Depdikbud.
Joni, T. Raka. 1979. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: P3G Depdikbud.
Kasim Achmad, A. 1981. "Teater Rakyat di Indonesia" dalam Analisis Kebudayaan.
Oemarjati, Boen Sri. 1971. Bentuk Lakon Dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.
Pramana. 1988. Tata dan Teknik Pentas. Jakarta: Pustaka Jaya.
Raharjo, J. Budhy. 1986. Pendidikan Seni Teater (Drama). Bandung: Yrama
Rendra, VV. S. 1986. Tentang Bermain Drama. Jakarta: Pustaka Jaya.
Riantiarno, N. 1981. "Suatu Peristiwa Teater" dalam Analisis Kebudayaan.
Saleh, Mbiyo. 1971. Sandiwara Dalam Pendidikan. Jakarta: Gunung Agung.
Stanislavsky, C. 1979. Persiapan S'eorang Aktor. (Terjemahan Asrul Sani). Jakarta: Pustaka Jaya.
Sumardjo, Jakob. 1992. Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Sumardi, Mulyanto (Editor). 1992. Berbagai Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tambayong, Japy. 1981. Dasar-dasar Dramaturgi Bandung: Pustaka Prima.
Wardani, I.G.A.K. 1981. Pengajaran Sastra. Jakarta: P3 G Depdikbud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Komentar

DASAR-DASAR BERMAIN DRAMA

I.   PENDAHULUAN Drama adalah kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas dengan media  percakapan(dialog), gerak da...